dongeng sebelum tidur

Cerpen. Dongeng . Cerita Rakyat

Akhirnya Ku Menemukanmu

Tiga hari tak bertemu bagaikan setahun rasanya. Tak karuan rasa hati dan pikiran ini. Konsentrasi pikiran tak jua datang. Hati pun tak kunjung tenang. Rasa gelisah terus saja mengikuti kemana langkah ini pergi.

“Hei Mas! Jalan lihat-lihat dong.”

“Maaf,” kataku gugup setelah nyaris menabrak seorang ibu yang membawa belanjaan.

Aduh, benar-benar tak sabar rasanya ingin segera bertemu.

“Hei! Jangan melamun saat rapat. Apakah kau dengar kata-kataku barusan?”

Aku menegakkan kembali posisi duduk dan berusaha konsentrasi penuh menyimak rapat siang ini.

“Pak, Anda tampak kurang sehat hari ini.”

“Apakah Anda sudah makan?”

“Sebaiknya Anda pulang cepat.”

Berbagai teguran menerjangku hari ini. Aku melihat bayanganku di cermin. Tampak pucat dan lesu. Mataku berair. Padahal aku tidak menangis, tapi terlihat sembab di kedua mataku. Sungguh sayang, aku hanya seorang pria yang tidak mungkin berdandan dan menutupi kesuraman wajahku hari ini dengan bedak dan lipstick seperti yang dilakukan kaum wanita.

Makan di rasa tak enak padahal perut lapar tak menentu. Sungguh tersiksa diri ini rasanya. Seharian dimarahi hampir setiap orang, badan pun rasanya karuan. Ternyata begini yah rasanya bila tiga hari tak bertemu.

Aku harus bertemu.Dimanakah kamu, tunggulah aku.

Aku bergegas pulang. Setelah kuparkir mobil di depan rumah tetangga yang marah-marah, aku tak peduli. Karena setiap detik berharga bagiku. Aku langsung berlari secepatnya. Kuraih dengan gugup kunci pintu, tak sabar rasanya ingin masuk. Kubuka pintu kamar tanpa permisi.

Dan akhirnya aku menemukanmu. Continue reading

June 3, 2015 Posted by | Cerpen Dewasa | | Leave a comment

Ketika Senyummu Hadir

Akhirnya terlihat juga lekukan di bibirnya. Tak kusangka, akan dapat melihatnya. Bagaikan tersambar petir aku melihatnya. Kakiku langsung kaku seakan bergetar dan tak mampu menahan tubuh ini berdiri. Aku pun hanya diam menatapnya. Segala perasaan bercampur menjadi satu; antara kaget, kagum dan tak percaya.

^_^

“Gubrak!”

Aku tersontak kaget mendengarnya. Angin yang terbawa derap pintu ikut meniup kertas-kertas di atas mejaku. Sepertinya akan ada hujan deras, pikirku.

“Gubrak!”

Terdengar lagi gebrakan itu. Aku menatap pintu dan jendela. Tak ada yang lewat dan tak ada yang terbuka satu pun.

“Gubrak!”

Hei, darimana kah suara itu? Aku berusaha mencarinya. Lalu terus menerus gebrakan itu tak ada henti memekakan telingaku di tambah suara umpatan kasar tak jelas yang sangat mengganggu.

Aku melihat seorang pria sedang marah-marah seorang diri di depan komputer. Sepertinya komputernya bermasalah dan dia sangat risih akan hal itu. Sesekali dia menggebrakkan tangannya ke meja atau menendang kakinya ke lemari di dekatnya. Kadang-kadang di melemparkan barang yang ada di mejanya ke sembarang arah sambil mengumpat tak jelas.

Orang-orang di sekitarnya hanya diam terpaku sambil ketakutan melihatnya. Beberapa bahkan ada yang sengaja menjauh dan menghindarinya.

Siapakah dia? Aku baru pertama kali melihatnya.

Perlahan aku berjalan menghampirinya.

“Ssst…” temanku melambaikan tangannya memberikan kode agar jangan mendekatinya. Tapi aku tetap tak peduli. Suaranya sangat menganggu ketenangan murid-muridku di ruang sebelah.

“Pak, maaf pak” Aku berbicara perlahan.

Sepertinya dia tak mendengar.

Aku mengeraskan suaraku. Dia tetap tak peduli.

“Pak!!” Aku berteriak dan menepuk pundaknya.

“Apa maumu?” jeritnya. Dia menoleh dan menatapku. Matanya terbelalak sangat tajam ke arahku, matanya merah seakan mau keluar bola matanya. Wajahnya pun merah bagai terbakar api. Mulutnya yang berteriak juga sangat menyeramkan, lidahnya seakan mau loncat, seluruh giginya pun tampak dan terlihat tajam taringnya seperti gergaji.

Aku langsung meloncat mundur karena kaget. Baru kali ini aku melihat nyata seorang buto ijo dihadapanku.

“Ada apa?” Dia berteriak lagi.

Aku langsung gugup.

“Ma…ma..af Pak, to..long jangan be…risik. Anak-anak sedang belajar.”

Dia hanya menggeram seperti raksasa yang kebingungan. “Dan tolong jangan ganggu saya juga yah!” gertaknya.

Temanku menarik tanganku dan mengedipkan matanya sambil menaruh telunjuk di bibirnya. Aku pun mengikutinya.

Sungguh seram. Aku baru tahu ada raksasa di tempat ini.

^_^

Sebulan sudah dan tak ada satu pun yang

Continue reading

June 1, 2015 Posted by | Cerpen Dewasa | , | Leave a comment

Pada Sebuah Gerbong

Di stasiun kereta Depok pada hari Senin ketika ayam pun masih malas berkokok namun suasana di sana telah ramai, terdengar suara gemuruh dari seberang ditambah peluit lalu sirine bertubi-tubi. Semua orang langsung bergegas menuju ke tempat pemberhentian gerbong kereta. Kala matahari masih malu-malu untuk bangkit dari peraduan, tapi semua yang ada di stasiun tak ada yang malu untuk saling bekejaran dengan pakaian rapi  dan berdasi mengejar gerbong kereta.

Haris pun tak mau kalah berjuang menaiki gerbong, yang sama saja perjuangannya bagai mendaki gunung. Siku kanan dan kiri kian beradu. Kakinya terinjak berbagai jenis sepatu. Berbagai jenis bau nafas kian terhembus diwajahnya. Aneka parfum yang masih wangi tercium di hidungnya. Untung masih pagi, kala senja pas pulang nanti bau badan manusia sudah tercium tak karuan bercampur keringat. Setiap hari bagaikan naik kereta untuk pulang mudik baginya. Tapi ini bukan mudik. Bukan pulang ke kampung halaman untuk liburan. Tapi untuk bekerja di ibukota. Untuk bekerja demi segenggam gaji. Untuk bekerja di ibukota masih harus ‘pemanasan’ dulu, perjuangan di kereta bagi commuter sepertinya.

Di pintu gerbong beberapa orang menghardiknya. Ada pula yang menjewenya

Continue reading

July 17, 2014 Posted by | Cerpen Dewasa | | Leave a comment

Kisah Cinta Cowok Cemen

Budi benar-benar anak yang baik. Rajin belajar dan bekerja. Gambaran anak sempurna. Tampan, tubuh atletis, idola semua cewek, anak gaul, aktif berorganisasi dengan setumpuk prestasi. Dan tak lepas dari itu dia tetap anak yang saleh, suka menolong orang tua, setiap hari tanpa malu dia membantu tugas rumah tangga ibunya, rajin menjenguk neneknya. Budi memang ber’budi’. Seorang cowok yang bisa jadi karakter tokoh utama sinetron pas bulan puasa.

Waktu SMA, Budi termasuk murid paling populer. Jadi bintang basket, selalu  juara kelas, ketua OSIS dan selalu gonta-ganti cewek. Banyak adik kelas yang mengidolakannya, tapi mereka tahu itu hanya mimpi belaka karena banyak saingannya. Hingga suatu saat Budi pacaran dengan Wati, seorang sekretaris pengurus OSIS dan cantik anaknya. Diluar  dugaan teman-teman sekolahnya, ternyata awet juga hubungan Budi dan Wati ini. Luntur sudah cap playboy pada Budi yang dikenal teman-temannya karena suka gonta-ganti cewek hanya dalam periode 1 minggu!

Suatu saat Budi dan Wati sedang makan malam sehabis nonton bareng. Di bawah temaram lampu restoran dan semilir angin malam, mereka asyik ngobrol sambil menunggu menu makanannya tiba.

“Duh, lama banget sih makanannya. Padahal gue laper, seharian capek maen basket.”

“Sabar.., gue juga laper say..’bentar yah gue beli cemilan dulu.”

Wati pergi. Budi ditinggal sendiri di restoran. Dia asyik ngerokok dan sibuk dengan blackberry-nya. Lama kemudian, terlihat lagi Wati sudah duduk di depannya.

“Sorry, gue rada lama ya? Makanannya belum dateng juga nih?”

Budi menggelengkan kepalanya. “Lo kemana aja barusan, say?”

“Beli donat. Lumayan buat ngeganjel perut. Mau?”

Keduanya langsung asyik mengunyah donat karena lapar.

“Trus, itu makanan apa lagi?” kata Budi.

“Ini donat juga, say. Tapi buat nenek lo. Besok kan lo nengok nenek lo kayak biasa. Sekalian gue titip ini. And salam juga buat nenek lo, moga-moga dia sehat-sehat aja.”

“Wah, tengkiyu berat yah say…besok gue kasih tau nenek gue. Waaah kayaknya tadi lo sempet shopping ngeborong juga ya.” Mata Budi tertuju pada plastik besar di sebelah kursi Wati.

“Oh, ini buat nenek lo juga, say. Tadi gue sempet mampir ke supermarket bentar. Gue beli sabun, shampo, sikat gigi dan handuk buat nenek lo. Sekalian titip buat besok yah, say…”

Gubrak!

Gelas yang baru saja diletakkan sang pelayan ke meja mereka langsung terpelanting. Budi tiba-tiba mengepalkan tangannya ke meja dan langsung berdiri dengan gaya emosi. Wati langsung kaget dengan aksi cowoknya itu.

“Apa sih maksud lo?” Budi berteriak kencang dan menarik perhatian pengunjung restoran lainnya.

“Lho? Continue reading

October 2, 2012 Posted by | Cerpen Dewasa | , , | 2 Comments

Cinta Bang Thoyib

Sangat berbeda dengan tradisi lebaran di rumah-rumah lainnya, saat malam takbiran Mpok Lila justru masak nasi goreng dan telor ceplok. Tidak ada kue lebaran untuk tamu-tamunya. Mpok Lila hanya menyajikan teh manis untuk saudaranya yang berkunjung pada malam takbiran.
”Maaf yah, buat saya lebaran sama saja dengan hari lainnya. Makasih sudah mau silaturahmi ke sini.”
”Kenapa ga buat ketupat Mpok? Karena lebaran kali ini bang Thoyib ga di rumah lagi?” tanya kakak iparnya.
”Iya, seperti biasa.”
”Kayaknya tiap kali lebaran bang Thoyib memang tak pernah ada di rumah deh. Sudah berapa kali lebaran dia ga pulang, Mpok?” kata tantenya.
”Maklum lah dia justru lagi sibuk-sibuknya kerja pas lebaran. Yah, sejak kita nikah bang Thoyib memang ga pernah lebaran di rumah….berarti udah enam kali lebaran sampai lebaran sekarang.”
”Waah….sabar aja yah Mpok,” kata sepupunya.”Ga masalah nih suami-istri ga pernah lebaran bareng?”
”Buat saya sih ga masalah,” kata Mpok Lila sambil minum teh manis.”Kan dia kerja, lagipula saya yakin bang Thoyib hanya pas lebarannya aja kok ga di rumah. Hari-hari biasa sih kita pasti ngumpul bareng.”

^_^
Tujuh hari setelah lebaran, bel pintu Mpok Lila berbunyi. Mpok Lila langsung girang menyambutnya. Mpok Lila sudah berdandan cantik dengan pakaian terbaiknya, malam sebelunya Mpok Lila telah siap memasak ketupat, opor ayam, rendang, oseng tempe, sambal goreng ati-ampela, emping….semua menu lebaran kini sudah tersaji komplit di meja makannya. Sangat berbeda dengan tetangganya yang lain dimana opor ayam tinggal kuah, di rumah Mpok Lila justru masih komplit tumpah ruah. Di meja depan juga tersaji aneka kue bolu, tape ketan buatan sendiri dan kopi panas favorit suaminya.
Ketika pintu dibuka, tampak Bang Thoyib masih lengkap dengan seragam polantasnya. Mpok Lila langsung memeluknya, meskipun bau keringat dan asap knalpot kendaraan mudik, tapi buat Mpok Lila itu justru sangat harum.
Bang Thoyib langsung duduk dan menikmati kopi panas buatan istrinya. Continue reading

September 30, 2012 Posted by | Cerpen Dewasa | | Leave a comment

Jejaka Yogya

Dengan secangkir kopi, terasa segar kembali rasa kantuk Rheina. Awalnya kopi itu terasa nikmat – pada tenggakan pertama – selanjutnya Rheina membanting gelasnya. “Pfouagh…kopi apa ini? sangat pahit!” Rheina langsung meludah.
“Hei .. tega benar kau pada seekor binatang malang!” seorang pemuda menggendong kucing yang tampak kuyu tersiram kopi panas. Bulu-bulunya basah, terguyur cairan hitam, sebagian kulitnya tampak telah melepuh.
Rheina langsung merasa bersalah. “Oh, maafkan. Aku tak tahu ada kucing di sekitar sini. Aku tak bermaksud menyiramnya. Sekali lagi, maafkan. Itu kucingmu, Pak?”
“Aku belum menjadi bapak. Panggil aku mas saja. Ini bukan kucingku, kebetulan saja aku langsung melihatnya ketika tadi dia mengeong dan menjerit. Ternyata ada yang mengguyurnya dengan kopi,” pemuda tadi tersenyum sambil membelai kucing.
“Aku tak mendengarnya mengeong. Mungkin karena aku sangat mengantuk,” kata Rheina.
“Oh…ndak apa-apa.. kenapa sampai ngantuk dan kelihatan kesal hingga melempar secangkir kopi? Kenalkan namaku Mas Deni.”
Rheina langsung berkenalan dengan Mas Deni. Dalam sekejap mereka langsung berbincang akrab. Tanpa sadar Rheina menceritakan masalahnya semalam, karena koneksi internetnya mengalami gangguan dia kerap gagal mengirim tugasnya kepada atasan. Akhirnya tengah malam dia pergi ke warnet 24 jam hanya untuk mengirim surat elektronik kepada atasan.
Rheina yang bukan penyayang binatang, merawat kucing yang diguyurnya dengan kopi. Memberinya salep dari apotik untuk luka melepuhnya, setelah itu memberinya makan bersama-sama dengan Mas Deni.
“Kau hendak memeliharanya, Mas?”
“Oh..ndak.Biarkanlah dia bebas seperti sebelumnya.”
***

“Tiga juta, Mas? Untuk apa?”
Tiba-tiba Mas Deni meminjam sejumlah uang kepada Rheina.
“Sangat banyak keperluanku. Kau kan tahu aku belum ada pekerjaan tetap. Sedangkan aku harus bayar uang kos, makan, dan sebagainya.”
Sudah empat hari Rheina mengenal Mas Deni. Ternyata Mas Deni adalah seorang pemuda sebatang kara dari Yogyakarta. Keluarganya telah tewas menjadi korban musibah gunung Merapi. Keluarganya memang tinggal di Kaliurang yang telah tersapu bersih oleh awan panas gunung Merapi. Karena tak ada keluarga, maka Mas Deni terpaksa mengungsi dan memutuskan untuk meneruskan hidupnya di kota kembang.
Entah mengapa Rheina merasa tertarik dengan Mas Deni, apalagi setelah mengetahui Mas Deni masih lajang. Mas Deni sangatlah lembut, penyabar, baik hati, pendengar yang baik hati serta penyayang binatang. Itulah Mas Deni di mata Rheina. Setiap hari Mas Deni selalu memberi makan kucing liar, menyapa burung gereja, bahkan menolong anjing yang terluka. Mas Deni pun ikhlas menemani ibu kos-nya belanja dan membawakan barang belanjaannya. Mas Deni sudah tak punya keluarga, dia menganggap ibu kosnya adalah pengganti ibunya serta teman kosnya adalah adiknya.
Namun Rheina pun kaget ketika tiba-tiba Mas Deni meminjam uang sedemikian banyak kepadanya. Memang Rheina ada perasaan suka kepadanya, apalagi Mas Deni berhasil menekan rasa stress Rheina terhadap pekerjaannya. Hanya saja untuk meminjamkan uang dalam jumlah yang sangat besar Rheina masih sangat ragu namun di sisi lain Rheina juga iba mengingat bagaimana tragisnya peristiwa Merapi.
“Itu sama dengan sebulan gajiku, Mas.”
“Tolonglah”
“Kau janji akan melunasi?”
“Pasti.”
“Kau sendiri belum ada pekerjaan. Sanggupkah?”
Mas Deni terdiam. Wajahnya tampak memelas. Rheina tak sampai hati melihatnya, apalagi dengan berita di surat kabar dan televisi mengenai bencana Merapi akhir-akhir ini. Yang berhadapan dengannya adalah salah satu korban yang berhasil selamat.
“Baiklah, besok akan kuberikan.”
“Terima kasih.”
“Tapi kau janji untuk melunasinya.”
“Tentu saja. Janji itu hutang yang harus dibayar. Apalagi ini janji untuk bayar hutang.”
“Maafkan, Mas.”
“Lho, ndak apa-apa.”
“Justru aku yang minta maaf karena pinjam uang. Tapi pasti kulunasi karena aku tahu rasanya mengalami mati. Seperti yang terjadi pada keluargaku. Tak enak bila mati masih ada hutang.” ***

Makan malam dengan Mas Deni. Sangat sederhana. Rheina datang ke sebuah warung makan kecil di daerah kos-an Mas Deni. Dengan menu gudeg dan sambal krecek.
“Aku suka makan di sini. Harganya murah dan selalu mengingatkanku akan kampung halaman.”
“Kau tak ada niat untuk kembali ke Yogya?”
“Lha wong, di sana sudah ndak ada siapa-siapa lagi.”
“Bukannya kau kangen?”
“Sangat. Kota itu sangat ngangeni kata orang Jawa alias bikin kangen…tapi nanti lah kalau sudah aman, aku baru kembali.”
Sebenarnya Rheina berniat menagih hutangnya kepada Mas Deni. Sudah dua bulan lebih tidak dibayar. Tapi selalu muncul perasaan tak tega saja kepadanya. Entahlah, rasa kritis Rheina yang sangat berani hilang luntur bila di hadapan Mas Deni. Jiwanya yang sangat dingin dan pecandu kerja menjadi sangat rileks dan perhatian.
Seperti malam itu, ketika ada kucing lewat, Rheina langsung ikut memberinya makan bersama Mas Deni. Kucing montok berwarna putih itu langsung digendongnya.
“Kucing ini milik yang punya warung. Biar aku memberikan kucing ini kepada yang punya sekaligus membayar.”
“Biar aku saja yang membayar, Mas.”
“Aku yang mengajakmu kemari. Akulah yang seharusnya membayar.”
Mata Mas Deni sama lembutnya dengan mata kucing yang digendongnya. Hati Rheina kembali tenang dan melupakan piutang.
***

Di perjalanan pulang, Mas Deni masih saja sibuk ‘menyapa’ beberapa ekor kucing liar yang lewat. Malahan Mas Deni, sempat membeli ikan bakar hanya untuk seekor kucing yang tampak kelaparan. Rheina menanyakan mengapa Mas Deni sangat sayang kepada kucing. Ternyata Mas Deni merasakan nasib kucing itu sama dengannya. Hidup sebatang kara, sulit mencari makan dan kadang banyak tak peduli padanya. Rheina semakin tak tega untuk menagih hutangnya, namun ia sendiri sedang butuh uang.
“Kau ingat kucing yang kau guyur kopi beberapa waktu lalu?”
“Aku tak sengaja, Mas.”
“Iya, aku tahu kau tak sengaja. Seperti gunung Merapi yang sedang kesal, kau mengamuk, kucing itu seperti yang terkena awan panas. Makanya melepuh. Aku jadi teringat keluargaku ketika melihat kucing itu. Untung hanya kena kopi jadi tak mati..he..he..”
Rheina merasa tak enak untuk menagih hutangnya. Lagipula mengapa Mas Deni selalu mengingatkannya akan tragedi kucing dan kopi itu?
“Ada apa? Kau tampak gelisah.” Mas Deni melihat wajah Rheina yang tampak cemas.
“Oh, tak apa, Mas. Hanya masalah pekerjaan saja.”
“Semua pekerjaan pasti ada masalahnya. Kalau ndak dari pekerjaannya, bisa jadi dari lingkungannya,..sing penting hati kita tentrem pasti pekerjaannya ikut tentrem.” Mas Deni tertawa.
Rheina tertawa. Sejak mengenal Mas Deni, Rheina berhenti minum kopi, tidak ada lagi perasaan kantuk saat kerja. Jarang yang dikeluhkan.
“Mas Deni, apakah di Yogya semua orang seperti Mas Deni?”
Mas Deni langsung tertawa panjang.
“Hei! Aku serius!”
“He..he..kamu lucu bener sih. Kalau di Yogya kayak aku, yah sulit dong membedakannya.”
“Eh, Mas…”
“Ada apa?”
“Ah…tidak ada apa-apa.”
Rheina benar-benar kebingungan, padahal pekerjaannya sehari-hari adalah menelepon orang-orang yang masih menunggak hutang kepada Bank tempatnya bekerja. Tetapi kenapa hanya ke satu orang ini Rheina tak dapat berkata sepatah kata pun? Saat bekerja, Rheina sangat berhati dingin tak peduli alasan orang yang minta belas kasihan karena terkena kanker, kebakaran atau orangtuanya baru saja meninggal; tanpa ampun Rheina tetap menagih hutangnya. Kemanakah sikap kritisnya selama ini?
***

Pagi hari, di kantor sudah banyak yang menyambut Rheina.
“Rheina! Rupanya kau tidak minum kopi lagi ya?”
“Ya, sudah cukup lama.”
“Kenapa kau berhenti?”
“Tak boleh oleh dokter?”
“Atau harga kopi yang mahal?”
Seberondong pertanyaan menyerang Rheina saat dia baru tiba di meja kerjanya. Ada apa gerangan? Bukankah sudah lebih dari sebulan dia berhenti minum kopi, mengapa baru ada pertanyaan sebegitu banyak kali ini?
“Atau kau takut dikutuk oleh kucing?”
“Kucing?” Rheina balik bertanya.
“Oh, kau belum baca berita di surat kabar pagi ini? Lihatlah, nama lengkapmu disebut berulang-ulang di sini.”
Rheina membacanya dengan tangan gemetar. Hatinya sungguh emosi membaca sebuah kolom di koran. Kolom itu menceritakan seseorang yang bisa jadi penyiksa binatang hanya karena kurang tidur.. Di situ pun terdapat foto Rheina ketika tanpa sadar mengguyur kopi ke tubuh seekor kucing. Rheina sangat mengingat peristiwa pertama berkenalan dengan Mas Deni. Dan siapa lagi yang tidak tahu cerita itu selain Mas Deni.
Rheina langsung menjerit marah. Meraih ponselnya untuk menelpon Mas Deni dengan dua tujuan. Pertama menagih hutangnya, kedua masalah cerita di kolom itu. Tak jua diangkat. Kali ini tak ada rasa kasihan Rheina terhadap Mas Deni. Langsung dikirimnya pesan singkat untuk melunasi hutangnya.
***

Seminggu tak ada respon dari Mas Deni. Telepon tak kunjung diangkat. Pesan tak dibalas. Rheina benar-benar gelisah.
“Bukankah itu Mas Deni dari Yogya yang kerap kau ceritakan?” tegur rekan kerjanya.
“Ya. Tapi sampai saat ini tak ada kabar darinya.”
“Kau masih marah karena berita darinya minggu lalu? Dari ceritamu sepertinya belum tentu orang kayak dia yang menulis artikel itu.”
“Entahlah, tapi kita kan tak tahu persis bagaimana manusia. Buktinya dia sampai sekarang belum melunasi hutangnya.”
“Mengapa tak kau kunjungi saja kosannya? Aku antar kau ke sana pulang kerja.”
“Terima kasih. Aku sendiri belum pernah ke sana. Tapi aku tahu alamatnya.”
***

“Tidak ada yang namanya Mas Deni kos di sini.” kata seorang ibu paruh baya menjawab pertanyaan Rheina yang mencari Mas Deni.
“Tapi dia bilang alamatnya di sini. Mas Deni yang pakai kacamata, Bu. Dari Yogya. Dia masih lajang dan penyayang binatang.” Rheina menceritakan ciri khas Mas Deni secara detil. Baik penampilan maupun kebiasaan kepada ibu kos itu.
“Oh, dulu memang ada yang seperti itu kos di sini. Tapi dia sudah lulus.”
“Maksud ibu?”
“Sudah lulus kuliah. Dia lulus kira-kira lima tahun yang lalu trus langsung pulang kampung.”
“Dia tidak balik lagi ke sini, Bu? Kira-kira 2-3 bulan lalu?”
“Tidak mungkin, Nak. Kabar terakhir justru dia sudah meninggal karena bencana Merapi.”
Rheina kehabisan kata-kata. Dia benar-benar bingung. Dia menyimpulkan ibu kos Mas Deni sudah pikun. Bila Mas Deni telah meninggal lalu siapa yang meminjam uangnya dan menulis artikel di surat kabar minggu lalu?
“Miaaw…”
Tak lama lewat kucing yang sebelumnya pernah dijumpai Rheina ketika pertama kali bertemu Mas Deni.
“Kucing itu milik Ibu?” Rheina bertanya kepada ibu kos.
“Tidak. Tapi sejak ada kabar Deni meninggal, kucing itu sering berkeliaran di sini. Dan entah kenapa tiga bulan yang lalu tiba-tiba sebagian kulitnya kelihatan melepuh.”
Rheina langsung terdiam.Rheina hanya mencoba memberanikan diri untuk menyimpulkan bahwa ibu kos ini sudah tua dan suka mengada-ada.
***

September 4, 2011 Posted by | Cerpen Dewasa | | 1 Comment

Situ Bagendit

Di sebuah desa yang subur sebelah utara kota Garut, tinggal seorang janda kaya bernama Nyi Endit. Ia paling ditakuti di seluruh desa, ia dapat berbuat sesuka hatinya dengan kekayaannya.
Para penduduk daerah sekitar banyak yang meminjam uang pada Nyi Endit meskipun utang yang dibayar harus dengan bunga yang sangat tinggi. Nyi Endit mempunyai beberapa tukang pukul untuk menagih utangnya. Bila tak mampu bayar, para tukang pukul melakukan tindak kekerasan.

Jika musim panen, betapa melimpahnya hasil panen di tempat Nyi Endit. Saat musim paceklik, para penduduk yang sebagian besar petani, mengalami kesulitan. Panen mereka gagal. Kelaparan pun melanda sehingga banyak yang menderita busung lapar.
Sangatlah berbeda dengan keadaan Nyi Endit. Saat penduduk sekitar kelaparan, Nyi Endit justru berpesta pora dengan makanan yang melimpah ruah bersama keluarga, kerabat dan tamunya.

Di tengah-tengah pesta, tiba-tiba pengawal/tukang pukul Nyi Endit melapor,”Maaf Nyi, di luar ada pengemis yang memaksa masuk dan membuat keributan. Sepertinya ia minta sedekah.”
“Usir dia!” sahut Nyi Endit.

Namun, secara tak terduga Continue reading

December 18, 2009 Posted by | Cerita Rakyat | , , | 5 Comments

Sangkuriang dan Dayang Sumbi

Pada zaman dahulu, tinggal seorang puti raja yang cantik dari kerajaan Jawa Barat bernama Dayang Sumbi yang hobi menenun. Suatu hari, ketika ia sedang menenun, pintalan yang ia letakkan di pinggir jendela istana terjatuh dan pintalannya terjatuh dan menggelinding keluar istana.
Karena sulit mencarinya, Dayang Sumbi mengucapkan sumpah bahwa kepada siapapun yang menemukan benangnya akan dijadikan saudara bila ia perempuan dan bila laki-laki akan dijadikan suami.
Kemudian, seekor anjing hitam bernama Tumang mengembalikan benangnya. Dayang Sumbi sangat bingung akan hal itu karena yang mengembalikan benang hanyalah seekor anjing dan bila ia melanggar sumpahnya, ia takut akan kutukan para Dewa. Tumang adalah Dewa yang dikutuk menjadi binatang dan dibuang ke bumi. Akhirnya Dayang Sumbi menikah dengan Tumang.

Setelah sekian lama, Dayang Sumbi mengandung anak Tumang. Dan anaknya diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tidak mengetahui sama sekali bahwa Tumang, seekor anjing, adalah ayahnya. Sangkuriang senang berburu dan selalu ditemani Tumang.
Suatu hari, Sangkuriang diminta ibunya untuk mencari hati kijang. Sangkuriang pun pergi berburu bersama Tumang. Saat menemukan seekor kijang, Tumang tak dapat mengejar kijang tersebut, Sangkuriang marah dan memanah Tumang. Tumang akhirnya mati di tangan anaknya sendiri.
Saat pulang, Sangkuriang meyerahkan hati Tumang kepada ibunya dan mengatakan bahwa itulah hati kijang yang diminta ibunya. Namun, Dayang Sumbi menyadari bahwa yang dibawa Sangkuriang bukanlah hati kijang. Akhirnya Sangkuriang pun mengakui bahwa yang dibawa adalah hati anjing teman berburunya, Tumang.
Dayang Sumbi marah bukan kepalang mendengar kelakuan anaknya. Tanpa sadar, gayung yang dipegangnya dilemparkan ke kepala Sangkuriang sehingga menimbulkan bekas luka. Sangkuriang merasa sakit hati atas tindakan ibunya yang lebih menghormati seekor anjing dibandingkan anaknya sendiri. Sangkuriang pun pergi meninggalkan ibunya.

Dayang Sumbi sangat menyesali perbuatannya begitu melihat anaknya pergi. Ia pun pergi meninggalkan istana dan melakukan pertapaan. Para Dewa memberinya kecantikan yang abadi. Dayang Sumbi akan selalu tampak muda.
Bertahun-tahun kemudian, Sangkuriang telah menjadi pemuda tampan dan bertemu gadis cantik. Mereka saling mencintai. Gadis cantik itu tak lain adalah Dayang Sumbi – ibunya sendiri – yang telah mengganti namanya, dan ia pun tak menyadari bahwa pemuda yang ia cintai adalah anak kandungnya sendiri. Sampai menjelang hari pernikahannya, Dayang Sumbi melihat bekas luka di kepala Sangkuriang, ia langsung menyadari bahwa yang ia cintai adalah anak kandungnya sendiri.

Oleh karena itu, Dayang Sumbi mencari akal untuk menggagalkan pernikahannya dengan anak kandungnya sendiri. Ia meminta Sangkuriang membendung sungai Citarum dan membuat perahu yang besar untuk menyeberangi sungai itu. Pekerjaan itu harus dipenuhi sebelum terbit fajar. Continue reading

December 18, 2009 Posted by | Cerita Rakyat | , , , | 1 Comment

Gerimis

Tibanya saat akhir pekan. Telah jauh-jauh seorang cucu yang dari ibukota menngunjungi kakeknya untuk berjalan-jalan di sungai Terang. “Sabarlah, tunggu matahari agak terang. Sekarang masih berkabut.” Sang kakek hanya duduk di teras saja membaca koran sambil merokok.
“Kenapa namanya sungai Terang, Kek?”
“Nanti kau akan lihat bila kabutnya sudah pergi. Temani nenek saja di dapur.”
Jauh dari daerah dekat sungai Terang itu, di sebuah stadion olahraga, telah padat pengunjungnya. Walaupun langit mendung. Tak tampak sorot matahari. Sebagian mengikuti instruktur untuk senam aerobik. Sebagian lagi lari pagi dan jalan santai mengitari stadion.
Setelah pemanasan, dimulailah gerakan inti pertama senam aerobik. Seluruh peserta tampak semangat. Hanya akhir minggu mereka bisa berolahraga. Sepanjang hari sibuk untuk bekerja. Takut akan semakin bertambahnya berat badan.
Namun di tengah semangatnya senam, terasa di tangan dan muka peserta setetes air yang mengenai kulitnya. Gerimis telah tiba. Langit semakin mendung. Sebagian mulai khawatir. Sebagian mengenakan topinya.
Sang instruktur menyadari hal itu. Ia menghentikan gerakannya. Mengambil mike dan berkata kepada peserta. “Gerimis hari ini, apakah senamnya kita hentikan atau lanjutkan saja?”
“Lanjuut” sahut peserta dengan semangat. Mereka terus berlompat-lompatan dan menggerakkan tangannya. Langit mendung dan cuaca dingin tak menghalangi mereka untuk mengeluarkan berolahraga. Di track lari pun, tak ada yang menghentikan gerakan mereka. Continue reading

November 29, 2009 Posted by | Cerpen Dewasa | | Leave a comment

Joko Kendil


Karena bentuk tubuhnya yang menyerupai kendil1(guci, periuk) seorang anak dijuluki Joko Kendil oleh penduduk di daerah sekitar ia tinggal. ia sering diejek dan dijauhi teman-temannya karena bentuk tubuhnya. Namun ia tak pernah bersedih akan hal itu. Dia tetap rajin bekerja membantu ibunya. Banyak yang sering memandangnya dengan aneh, tapi ia tetap percaya diri saat mengangkat barang-barang belanjaannya dari pasar.
Suatu hari, di kampung tempat tinggal Joko Kendil, datang sebuah keluarga baru. Keluarga sederhana yang mempunyai seorang anak lelaki kurus dan botak. Karena tak ada sehelai pun rambut tumbuh di kepalanya, ia dinamai si Gundul.
Seperti yang telah terjadi pada Joko Kendil, si Gundul juga sering diejek. Si Gundul sering muram dan sedih karena ejekan teman-temannya. Joko Kendil terharu akan keadaan si Gundul, maka ia pun menghibur si Gundul. “Jangan sedih. Biarkan saja mereka menghina kita. Kita memang punya kekurangan. Tapi yang penting, kita tak menyakiti orang lain,” kata Joko Kendil kepada si Gundul.
Sejak itu Joko Kendil sering bermain laying-layang bersama si Gundul. Si Gundul sangat jago bermain laying-layang. Belum ada anak kampung yang bisa bermain laying-layang sehebat itu. Joko Kendil senang bermain dengannya. Selain itu, si Gundul juga jago memanah, dia mengajarkan Joko Kendil membidikkan anak panahnya ke sasaran yang jauh dengan tepat. Persahabatan mereka makin erat, meskioun anak-anak kampung masih saja suka mengejek mereka.
Pada suatu hari, Joko Kendil mendengar cerita di kampungnya bahwa seorang raja mempunyai tiga orang putri yang cantik. Joko Kendil tertarik untuk melamar putri sang raja. Mendengar Joko Kendil hendak melamar putri raja, orang-orang kampung mencemoohnya karena tak mungkin lamarannya diterima oleh seorang pemuda dengan bentuk tubuh seperti dia.
Hanya si Gundul satu-satunya yang memberi semangat kepada Joko Gendil. Continue reading

November 29, 2009 Posted by | Cerita Rakyat | , | 4 Comments