dongeng sebelum tidur

Cerpen. Dongeng . Cerita Rakyat

Kisah Cinta Cowok Cemen


Budi benar-benar anak yang baik. Rajin belajar dan bekerja. Gambaran anak sempurna. Tampan, tubuh atletis, idola semua cewek, anak gaul, aktif berorganisasi dengan setumpuk prestasi. Dan tak lepas dari itu dia tetap anak yang saleh, suka menolong orang tua, setiap hari tanpa malu dia membantu tugas rumah tangga ibunya, rajin menjenguk neneknya. Budi memang ber’budi’. Seorang cowok yang bisa jadi karakter tokoh utama sinetron pas bulan puasa.

Waktu SMA, Budi termasuk murid paling populer. Jadi bintang basket, selalu  juara kelas, ketua OSIS dan selalu gonta-ganti cewek. Banyak adik kelas yang mengidolakannya, tapi mereka tahu itu hanya mimpi belaka karena banyak saingannya. Hingga suatu saat Budi pacaran dengan Wati, seorang sekretaris pengurus OSIS dan cantik anaknya. Diluar  dugaan teman-teman sekolahnya, ternyata awet juga hubungan Budi dan Wati ini. Luntur sudah cap playboy pada Budi yang dikenal teman-temannya karena suka gonta-ganti cewek hanya dalam periode 1 minggu!

Suatu saat Budi dan Wati sedang makan malam sehabis nonton bareng. Di bawah temaram lampu restoran dan semilir angin malam, mereka asyik ngobrol sambil menunggu menu makanannya tiba.

“Duh, lama banget sih makanannya. Padahal gue laper, seharian capek maen basket.”

“Sabar.., gue juga laper say..’bentar yah gue beli cemilan dulu.”

Wati pergi. Budi ditinggal sendiri di restoran. Dia asyik ngerokok dan sibuk dengan blackberry-nya. Lama kemudian, terlihat lagi Wati sudah duduk di depannya.

“Sorry, gue rada lama ya? Makanannya belum dateng juga nih?”

Budi menggelengkan kepalanya. “Lo kemana aja barusan, say?”

“Beli donat. Lumayan buat ngeganjel perut. Mau?”

Keduanya langsung asyik mengunyah donat karena lapar.

“Trus, itu makanan apa lagi?” kata Budi.

“Ini donat juga, say. Tapi buat nenek lo. Besok kan lo nengok nenek lo kayak biasa. Sekalian gue titip ini. And salam juga buat nenek lo, moga-moga dia sehat-sehat aja.”

“Wah, tengkiyu berat yah say…besok gue kasih tau nenek gue. Waaah kayaknya tadi lo sempet shopping ngeborong juga ya.” Mata Budi tertuju pada plastik besar di sebelah kursi Wati.

“Oh, ini buat nenek lo juga, say. Tadi gue sempet mampir ke supermarket bentar. Gue beli sabun, shampo, sikat gigi dan handuk buat nenek lo. Sekalian titip buat besok yah, say…”

Gubrak!

Gelas yang baru saja diletakkan sang pelayan ke meja mereka langsung terpelanting. Budi tiba-tiba mengepalkan tangannya ke meja dan langsung berdiri dengan gaya emosi. Wati langsung kaget dengan aksi cowoknya itu.

“Apa sih maksud lo?” Budi berteriak kencang dan menarik perhatian pengunjung restoran lainnya.

“Lho? Lo yang kenapa? Kan tadi gue udah bilang kalo gue beli sabun, shamp…” Wati tampak kebingungan.

“Heh! Lo kira gue tuli apa?! Gue udah denger kalo lo tuh tadi ngomong itu!”

“Say, lo kenapa sih kok mendadak jadi aneh begini? Coba duduk dulu biar lo rada tenang, say…” kata Wati terbata-bata.

“Say!…say!..say! Lo pikir gue sayur?! Nama gue Budi, dodol!” Lagi-lagi Budi memukul mejanya dan mendorong meja itu ke arah Wati hingga terjungkir. Wati langsung terjerit kaget karena semua makanan dan minuman tumpah mengenai tubuhnya. Wati langsung berdiri dan gemetaran. Semua orang di restoran itu langsung melihat mereka. Rasanya itu adalah tontonan gratis yang jauh lebih seru daripada film thriller di bioskop.

Seorang pelayan mendekati mereka dengan ragu. Begitu melihatnya, Budi langsung mendampratnya. “Heh! Ngapain lo ke sini?!”

“Saya mau mengantarkan pesanan kalian,” katanya dengan nada takut.

Budi langsung membanting baki yang dipegang pelayan itu. “Heh! Lelet amat sih nganterin makan! Satu jam lebih kita nunggu sampe kelaperan begini!”

Wati menutup mukanya karena malu. Budi melemparkan uang begitu saja ke kasir untuk membayar pesanannya sambil meludah ke wajah si kasir.  Dia langsung melangkah pergi dan meninggalkan Wati begitu saja tanpa sepatah kata pun. Wati menangis seorang diri di restoran dan menjadi tontonan iba para pengunjung restoran.

^ _ ^

Meskipun Wati hanya curhat ke teman sebangkunya, besoknya seluruh sekolah langsung tahu cerita putusnya Wati dan Budi. Ada ruginya juga kalau jadi pasangan populer, ada berita buruk langsung ketahuan satu sekolah. Bahkan Wati sempat dipanggil guru BP segala!

“Bu, ini kan masalah saya pribadi. Teman-teman lain juga punya masalah yang sama. Kenapa sampai harus menghadap Ibu?”

“Saya mengerti, Wati…waktu Ibu masih seusiamu juga pernah mengalami masalah serupa. Tapi kasusmu ini cukup serius jangan sampai berulang dan mengganggu pelajaranmu.”

“Kalau begitu, sebaiknya Budi saja yang dipanggil, Bu. Dia yang sepertinya punya masalah lebih serius.”

Guru BP itu hanya tersenyum. “Mungkin, dia punya masalah juga setelah putus denganmu, tapi dia kan tidak harus berurusan dengan polisi segala gara-gara ingin bunuh diri sepertimu.”

Wati langsung kaget. “Apa! Siapa yang mau bunuh diri, Bu? Kata siapa saya mau bunuh diri?”

“Wati, seluruh sekolah sudah tahu kok kamu sempat ingin bunuh diri karena putus dengan Budi. Kepala sekolah yang menyuruh saya memanggilmu karena kasus ini.”

Wati langsung mendesah. Dia sangat bete begitu keluar dari ruangan guru BP itu. Siapa yang pertama kali menyebarkan gosip itu? Pikirnya.

Wati langsung menghampiri teman sebangkunya dan menceritakan semuanya. Reni – teman sebangkunya – hanya tersenyum.

“Ren, lo tahu ada gosip itu?”

Reni mengangguk. “Kalo gue nggak langsung jemput lo di restoran dan dengar sendiri dari lo and orang-orang di restoran tentang cerita lo dan Budi malam itu juga. Bisa jadi gue juga percaya gosip itu. Tapi, gue tetap percaya sobat karib gue kok.”

“Dari mana ada gosip itu?”

“Dari mana-mana. Twitter, facebook, blog, bahkan di You Tube ada foto lo yang mo bunuh diri.”

“Hah? Kok bisa sih?”

“Kayaknya sih foto rekayasa aja, tapi heboh juga temen-temen kita kasih komentar di situ. Lo udah kayak seleb. Di FB juga masuk top news, sampai sekarang nggak ada berentinya temen-temen kita ngomongin lo. Emangnya lo nggak sempat on line, Wat?”

“Sejak putus, gue kan kerjanya nangis and curhat mulu sama lo, Ren. Jadi nggak pernah on line. Pasti Budi yang mulai ini semua. Huh! Dasar cemen! Beraninya cuman lewat internet aja, kalo macho and bintang basket sini dong kalo berantem langsung ketemu aja, nggak usah nyebarin gosip kayak gitu, kayak banci aja. Cemen banget sih! Gue juga bisa bales di twitter.”

Reni langsung mencegah Wati.

“Sst, Wati…sebaiknya jangan. Kalo lo melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Budi. Berarti lo sama aja kayak Budi dong! Udah deh, cuekin aja. Nggak usah diladenin orang kayak gitu. Dia sengaja mo mancing emosi lo aja. Sebaiknya lo tenangin diri aja dan lupain dia.”

“Oke, tapi gue penasaran kenapa sih Budi mendadak ngamuk di restoran dan bikin gosip yang malu-maluin sampai gue diceramahin guru BP 3 jam!”

^_^

Waktu berlalu. Budi sudah ganti cewek kesekian kalinya. Nyaris habis stok cewek yang pernah digaetnya di sekolahnya. Sudah tidak ada hubungan apa-apa antara Budi dan Wati. Sudah tidak ada hubungan apa-apa antara Budi dan Wati. Tidak ada hubungan sama sekali.

Namun Budi tetap dikenal sebagai murid yang paling populer. Dan ramah. Dia tetap gaul dan ramah menyapa teman-temannya, sangat perhatian bila ada yang sakit atau tidak masuk sekolah. Kecuali kepada Wati. Wati hanya dianggap angin. Sedangkan Wati dikenal teman-temannya sebagai cewek yang depresi berat sejak putus dengan Budi. Wati tetap tak peduli dengan semua itu. Dia mengikuti saran Reni. Namun ia tetap jengkel dan dendam atas segala kelakuan Budi padanya beberapa waktu lalu.

Wati mengikuti saran sobatnya untuk tidak ikut-ikutan dendam di dunia maya. Tapi dia tak bisa diam saja. Dia kumpulkan teman-teman ceweknya yang pernah menjadi ‘korban’ putus dengan Budi. Awalnya mereka tidak mau bergabung, tapi Wati cukup cerdas untuk merayu mereka. Akhirnya terbentuklah sebuah klub baru di sekolah itu. Dan hanya mereka saja yang tahu. Ternyata mereka putus dari Budi hanya karena masalah sepele saja.

^_^

Rapat perpisahan sekolah. Cukup heboh rencana perpisahan sekolah kali ini. Awalnya hanya di Puncak, di luar kota ternyata karena banyaknya bantuan dana rencana berubah jadi diadakan di luar negeri sekalian menyaksikan final piala dunia secara langsung di stadion. Tiket sudah dipesan.

Laporan dari bendahara akan dana yang terkumpul sudah oke begitu pula laporan dari seksi acara akan semua kegiatan yang akan dilakukan.

“Berarti, semuanya sudah beres urusan untuk perpisahan kita. Selesai rapat kali ini,” kata Budi, sang ketua OSIS.

“Eits, tunggu dulu,” kata Wati. “Kenapa saya sama sekali nggak ada proposal tentang ini? Proposal saya masih tentang rencana perpisahan kita di Puncak.”

“Makanya lo gaul dikit dong! Masa gitu aja nggak tahu!” kata Budi.

“Bukan soal gue anak gaul atau bukan, tapi kan gue sekretaris dan lo ketua! Dimana-mana sekretaris harus dikasih tahu nomor satu, karena gue yang harus bikin semua proposalnya!”

“Nyantei aja Bu! Jangan ngamuk!” tegur Budi.

“Lo jangan so jaim gitu deh di depan temen-temen kita yang lain. Biar mereka tahu aslinya lo kayak gimana. Huh! Sok ramah sama yang lain tapi gue dicuekin. Gue ngerti deh kalo lo benci sama gue dan nggak mau berurusan sama gue. Tapi itu kan masalah pribadi, sedangkan urusan perpisahan sekolah ini kan masalah organisasi. Lo kok nggak gentle banget ya?” kata Wati.

Mereka langsung sibuk bertengkar. Teman-teman yang lain sudah tidak ada yang berhasil melerainya. Akhirnya hanya jadi tontonan saja. Lumayan untuk mengusir kantuk dan bosan. Rapat OSIS akhir-akhir ini memang seru dengan pertengkaran Budi dan Wati.

^_^

Perpisahan sekolah di Afrika Selatan berjalan sukses. Selain itu ada yang tak terduga dari buku tahunan kali ini. Ada artikel khusus 30 halaman berjudul ‘AADC2-Ada Apa Dengan Cowok Cemen’ garapan anggota klub yang diketuai Wati. Di artikel itu tidak ditulis siapa yang menjadi tokoh utamanya, tapi semuanya sudah bisa menebak. Budi membakar artikel itu pada buku tahunan pribadinya.

Setelah itu mereka benar-benar ‘berpisah’ menuju perguruan tinggi pilihan masing-masing.

^_^

Suatu hari saat pulang kuliah, Wati pergi makan bareng dengan cowoknya. Tak sengaja ia bertemu lagi dengan Budi.

“Hei, apa kabar?” katanya bersamaan.

Mereka telah lupa masalah masa lalu. Mereka justru melepaskan rasa kangen dan saling menanyakan kabar kuliahnya.

“Kenalin, ini Ariel, cowok gue,” kata Wati.

“Kenalin juga, ini Luna, cewek gue,” kata Budi.

Mereka berempat asyik ngobrol sampai akhirnya Ariel dan Luna pamit ke toilet. Budi dan Wati tetap asyik ngobrol. Sampai akhirnya Wati teringat akan neneknya Budi dan menanyakan kabarnya. Awalnya Budi masih menjawab dengan santai. Kemudian Wati tak hentinya menanyakan kondisi Nenek dengan detil. Dan tiba-tiba Budi pun langsung marah. Terulang kembali peristiwa di restoran beberapa tahun yang lalu. Mereka berdua pun langsung ribut.

Ketika Ariel dan Luna kembali, mereka langsung melongo menyaksikan keributan itu. Ariel berusaha melerai mereka, tapi Luna mencegahnya. “Sudah, Ariel. Biarkan saja. Kalo ada orang gila lagi ngobrol kita nggak usah ikut-ikutan. Nanti kita juga jadi gila!” kata Luna.

Begitu melihat Luna, Budi mendadak diam dan berkata,”Hei, lo sudah kembali. Yuk kita jalan lagi.”

“Sorry aja ya. Gue nggak mau sama cowok muna kayak lo! Di depan gue lo sok jaim, ternyata di belakang gue lo tuh bajingan!” gertak Luna.

“Maksud lo?” kata Budi.

“Lo tuh sukanya ngritik orang, tapi nggak suka dikritik. Udah berapa kali gue salah terus. Gue pake kerudung salah, nggak pake salah. Hubungan kita sampe sini aja. Gue nggak mau ketemu lo lagi! Gue lebih suka sama cowok yang lebih asoy geboi kayak si Ariel !”

Luna langsung pergi meninggalkan Budi. Muka Budi memerah karena marah. Ditendangnya kursi dan meja. Sementara dilihatnya Wati sudah pergi bersama Ariel.

^_^

Wati penasaran kenapa Budi suka mendadak naik darah bila disinggung soal neneknya. Sehingga Wati pergi mengunjungi rumah neneknya Budi. Waktu masih jadi pacarnya Budi, Wati sendiri belum pernah bertemu dengan sang nenek, tapi dia tahu alamatnya.

Ketika tiba di tempat, hanya seorang tukang kebun yang membukakan pintu. Wati menanyakan tuan rumahnya. Tukang kebun itu bilang memang tidak ada siapa-siapa. Dan tidak ada seorang nenek yang tinggal di situ. Wati mulai ragu. Apakah dia nyasar. Tapi saat diceritakan temannya Budi. Tukang kebun itu mengenalnya.

“Oh, den bagus Budi memang tinggal di sini. Masuk saja, Bu. Sebentar lagi dia pulang.” sahut tukang kebun itu.

Wati langsung masuk dan dia berpikir jangan-jangan neneknya Budi sudah meninggal.

Begitu masuk ke rumah itu, Wati langsung kaget melihat keadaan rumah itu. Terpajang di seluruh dinding rumah, foto-foto cewek cantik, sebagian pernah dia kenal dan salah satunya adalah foto dirinya! Foto terbaru adalah fotonya Luna, yang baru dikenalnya beberapa hari lalu. Wati langsung menyadarinya bahwa foto-foto itu adalah foto cewek yang pernah jadi ceweknya Budi dan di tiap foto terpampang tulisan ‘Budi, I love you so much’.

Di sisi lain, terpajang piagam prestasi Budi bahkan fotokopi rapot saat Budi juara kelas dulu juga difigura. Piala-piala lengkap, mulai dari juara lomba makan kerupuk sampai kejuaraan basket nasional perguruan tinggi.

Wati semakin penasaran dan terus menyusuri seisi rumah itu. Akhirnya dia semakin ternganga begitu tiba di sebuah kamar. Kali ini yang terpajang adalah foto-foto close up Budi dalam berbagai aksi. Hanya foto ia seorang diri. Sedang main basket, mendaki gunung, memimpin rapat, ikut cerdas cermat, penelitian, terjun payung dan kick boxing. Foto ukuran besar. Dan difigura dalam bentuk hati!

Wati langsung merinding melihatnya. Seketika itu pula Budi datang. “Wati, ngapain lo di sini?”

“Budi, apa-apaan ini maksudnya?” tanya Wati.

“Suka-suka gue dong. Ini kan rumah gue, kamar gue.”

“Terus…kamar nenek…eh, almarhum nenek lo mana?”

“Nenek suka jalan-jalan naik kereta. Keretanya bisa gue stop sendiri kok.”

“Ngawur!”

“Nggak percaya? Lihat aja sendiri!” kata Budi. Budi langsung lari menuju rel kereta api yang dekat rumahnya. Kebetulan saat itu terdengar bunyi kereta lewat.

“Budi…berhenti!” Wati berteriak. Jeritannya terkalahkan oleh suara kereta. Budi terus berlari dan menghadang kereta. Kereta sudah tak bisa mengerem. Tragis.

^_^

Ketika pemakaman Budi, Wati baru tahu bahwa ternyata Budi mempunyai gangguan jiwa. Megalomania. Sebuah waham narsisime – bukan sembarang kata narsis yang lagi ngetrend sekarang – tapi benar-benar penyakit yang sangat cinta diri sendiri. Merasa dirinya sendiri yang paling benar, tergila-gila akan kekuasaan dan marah bila dikritik. Budi sangat membanggakan seluruh prestasinya termasuk ‘koleksi cewek’. Dia merasakan dirinya tokoh yang sempurna, oleh karena itu sangat marah dan dendam bila dikritik Wati atau Luna. Narsisisme alias cinta diri sendirinya juga sangat besar karena itu ia selalu jaga image dan jaga penampilan agar selalu dipuji orang lain. Dia juga berprestasi untuk pamer. Dan populer.

Budi merasa dirinya paling berkuasa, karena itu saat rapat OSIS dia tak ingin diskusi dulu dengan orang yang sedang bermasalah dengannya. Karena dia tak ingin diprotes. Dia paling sensitif bila diprotes sedikit saja. Itu juga penyebab dia sering putus dengan cewek – hanya karena dikritik cewek untuk masalah sepele. Tidak ingin dikomentari bila ia salah. Dia pun menghindari memberi ide pada orang yang pernah mengkritiknya. Tangan besi. Dia merasa kekuasaannya sangat besar – seperti Tuhan – sehingga sangat yakin bisa menghentikan kereta api. Ternyata cerita ‘nenek’ selama ini hanya cerita fantasinya saja. Karena dia sangat maniak kekuasaan dan cinta diri sendiri, ‘nenek’ yang dia maksud adalah koleksi foto, piala dan segudang prestasinya – baik prestasi nyata maupun fiktif. Dia tak mau seorang pun mengganggu gugatnya. Makanya dia marah besar pada Wati akan hal itu.

^_^

 

 

Notes: Adolf Hitler adalah satu tokoh terkenal yang mengidap ‘megalomania’. Bunuh diri ketika ketahuan ‘sarang’nya  dan Nazi sudah terjebak untuk dibubarkan.

 

Agustus 2010

                

October 2, 2012 - Posted by | Cerpen Dewasa | , ,

2 Comments »

  1. Sangat mengerikan penyakitnya ya¡

    Comment by wandaaa | February 21, 2013 | Reply

  2. haduh,
    ini apik ceritanya, hehe… konyol ya?
    🙂 ‘

    Comment by Raras | September 24, 2014 | Reply


Leave a comment